Memalukan ! Dewan Pers ‘Berselingkuh’ Dengan BPK RI
‘ANCAMAN’ Dewan Pers terhadap pemerintah daerah yang menjalin kerjasama dengan media massa (perusahaan pers) yang tidak memiliki ‘surat ijin’ (sertifikat verifikasi) dari Dewan Pers (DP) membuat sejumlah kepala daerah takut terdampak masalah hukum. Sebab, Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atau BPK RI menjadikan ‘perijinan’ (sertifikat verifikasi) dari DP itu sebagai acuan dalam melakukan audit keuangan pemerintah daerah terkait kerjasama pemberitaan yang dilakukan dengan pihak media massa (perusahaan pers). Dengan menempatkan ‘perijinan’ dari DP itu sebagai salah satu ‘dasar hukum’ melakukan audit maka BPK RI secara sadar hukum menjadikan DP sebagai lembaga pemerintahan, bukan sebagai lembaga independen.
DP seharusnya menolak kebijakan atau keputusan BPK RI tersebut agar marwah DP sebagai lembaga independen tetap terjaga sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional maka dibentuk Dewan Pers yang independen.
Sangat disesalkan, bukannya menolak tapi DP justeru ‘berselingkuh’ dengan BPK RI. DP malah menggunakan kebijakan/keputusan BPK RI tersebut sebagai senjata untuk menakut-nakuti pemerintah daerah agar memutus kontrak kerjasama atau menolak kerjasama dengan media massa yang belum memiliki ‘perijinan’ (sertifikat verifikasi) dari DP.
Sikap DP ini sungguh sangat memalukan karena sudah mengkhianati undang-undang pers. Kelihatan sekali DP tidak ada kerjaan, hanya sibuk dan fokus pada urusan sepele.
Kerjasama media massa dengan pemerintah daerah sebetulnya (maaf) adalah praktek menjual idealisme pers yang dapat merusak upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Perusahaan pers berhak tersinggung dan marah dengan sebutan (maaf) ‘melacurkan diri’ jika melakukan kerjasama dengan pemerintah.
Sebab, pada kenyataannya, DP justru menelanjangi diri sendiri karena tidak paham fungsi pers nasional sebagai alat kontrol sosial. Kalau semua media massa bekerja sama dengan pemerintah maka siapa yang akan menggantikan peran pers untuk melakukan kontrol sosial ?
Selama bertahun-tahun DP tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjalankan alasan utama dibentuknya DP yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Perusahaan pers atau media massa pun selama bertahun-tahun digiring ke dalam situasi untuk ikutan ‘melacurkan diri’. Itu namanya DP kurang kerjaan. Selama 20 tahun sejak UU Pers No. 40 Tahun 1999 disahkan, DP tidak memberi kontribusi nyata terhadap pengembangan kemerdekaan pers dan kehidupan pers nasional.
Kehidupan pers tidak akan pernah terpisah dari urusan Perusahaan Pers. Perusahaan Pers adalah inti dari kemerdekaan pers itu sendiri. Bagaimana memberdayakan Perusahaan Pers ini adalah kunci keberhasilan upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan kehidupan pers nasional. Selama ini DP sepertinya tidak paham soal itu atau mungkin pura-pura bodoh.
Kenyataannya, Perusahaan Pers seharusnya mampu menghidupi dirinya dari para pengguna jasa periklanan atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan sarana promosi produk-produk yang dipasarkannya. Belanja iklan dari pengguna jasa periklanan itulah yang patut diperjuangkan DP untuk menghidupkan Perusahaan Pers. Fokusnya harus ke situ, bukan ke kerjasama pers dengan pemerintah. Ada dana belanja iklan nasional Rp 150 triliunan tiap tahun dari pihak perusahaan swasta yang berpotensi mensejahterakan wartawan lewat Perusahaan Pers, namun hanya dimonopoli konglomerat media massa.
Parahnya, milyaran rupiah anggaran DP dari negara/rakyat (APBN) sebagian besar habis hanya untuk urusan sepele yaitu verifikasi media massa dan uji kompetensi wartawan (UKW) yang tidak pernah selesai. Anehnya, dua urusan itu yang paling dominan dikerjakan DP. Bisnis UKW pun jadi program utama DP karena patut dicurigai menghasilkan dana milyaran rupiah dari wartawan sebagai obyek sasaran.
Ada hal menarik yang patut menjadi perenungan pers nasional, di mana ada banyak wartawan yang mengaku senior dan berlatar belakang media massa besar serta menjabat sebagai petinggi di jajaran organisasi konstituen DP, kelihatan lantang berkoar-koar dan muncul ke permukaan hanya pada saat mengeluarkan statemen atau pernyataan ketika ada wartawan yang menjadi korban kekerasan. Sesudah itu tenggelam bak ditelan bumi. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau peka atas kondisi riil bahwa ada 43 ribu media massa yang di dalamnya terdapat ratusan ribu wartawan yang terancam kehilangan pekerjaan karena ditutup akses ekonominya dan dihina dengan sebutan abal-abal oleh DP.
Di sisi lain, 43 ribu media massa yang disebut abal-abal oleh DP itu hanya pasrah dan diam saja. Bahkan cenderung tunduk pada ‘ancaman’ DP. Seolah tidak ada pilihan lain selain ‘mengemis’ kerjasama dengan pemerintah daerah dan pasrah pada kesewenang-wenangan DP.
Dewan Pers Indonesia (DPI) mengajak seluruh wartawan dan media massa se-Indonesia di luar konstituen DP agar mau bersatu melawan tirani DP. Gerakan menulis berita perjuangan merebut belanja iklan nasional harus dikumandangkan ke seluruh penjuru tanah air.
DPI menghimbau agar dalam menulis berita tersebut dapat menggunakan data dan narasumber yang berkompeten sehingga tercipta opini positif bahwa belanja iklan nasional harus dishare ke daerah agar tidak hanya dinikmati dan dimonopoli oleh perusahaan pers milik segelintir konglomerat media massa di Jakarta.
Pers lokal harus mampu mendorong pemerintah daerah dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memperjuangkan nasib media lokal dan wartawan lokal untuk mendapatkan kesejahteraan melalui pembagian belanja iklan nasional. Hampir seratus persen belanja iklan nasional dikuasai oleh perusahaan pers ‘raksasa’ di Jakarta. Padahal yang belanja produk yang dijual di pasaran itu adalah masyarakat lokal (daerah). Seharusnya perputaran uang masyarakat lokal yang lari ke Jakarta tersebut kembali ke daerah dalam bentuk belanja iklan. Semangat ini yang harus ditularkan ke seluruh media lokal.
Jika ingin pers Indonesia sejahtera dan merdeka dari diskriminasi dan kriminalisasi maka masyarakat pers jualah yang harus memperjuangkan hal itu. DP yang selama ini membiarkan ‘kemiskinan’ melanda perusahaan pers harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Berhentilah ‘berselingkuh’ dengan BPK RI. Kembalilah ke jalan yang benar. Bangunlah negeri ini dengan informasi yang benar, bukan ‘pencitraan’ palsu yang mendustai rakyat. Hentikan ‘pelacuran’ media dengan pemerintah agar rakyat dicerdaskan, bukan dibodohi. Topeng ‘pencitraan; harus dilepas dari wajah pemerintah yang selama ini dilindungi oleh kontrak kerjasama dengan pemerintah.
Tunjukan rasa malu kepada generasi penerus pers Indonesia. Pers harus bangkit. Negeri ini sudah penuh dengan konflik yang tak berujung akibat potret negatif yang selalu dibangun oleh media mainstream karena kebutuhan politik dan industri. Rakyat sudah jemu dengan situasi politik yang seolah-olah negeri ini mau runtuh. Padahal masih banyak rakyat miskin di seluruh penjuru tanah air yang menaruh harapan tersentuh pemberitaan pers. Saatnya kita jujur pada hati nurani bahwa negeri ini butuh pers yang benar-benar independen.
Oleh :
Hence Mandagi
Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI)