OMNIBUS LAW CIPTA KERJA : OTORITER ATAU DEMOKRATIS ?
OMNIBUS Law Cipta Kerja yang diajukan oleh Presiden Jokowi kepada DPR RI saat ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Pandangan disoroti dari pelbagai optik sesuai kepentingan hukum, bisnis serta profesi masing-masing. Bentuk penyampaian pendapat juga bervariasi, melalui dialog di media sosial, media televisi, tulisan media cetak, bahkan demonstrasi sebagai salah satu media penyampaian pendapat kepada pemerintah di depan publik juga makin marak. Seperi yang hari ini, Senin (9/3/2020) disampaikan para mahasiswa di Yogyakarta. Namun, ketika ditanyakan substansi apa yang menjadi dasar keberatan mereka, nampaknya ada keraguan.
Omnibus Law Cipta Kerja dalam teori hukum merupakan politik hukum pemerintah, yang telah dibahas dengan suatu penelitian yang sangat mendalam oleh Pro Dr Mahfud MD untuk meraih gelar doktornya sebagai pencapaian gelar tertinggi dalam dunia akademik. Omnibus Law Cipta Kerja diajukan oleh Presiden Jokowi bukan tiba-tiba, tetapi jika kita merefleksi ke belakang pada saat pidato kenegaraan pelantikannya dengan Kabinet Kerja-nya, Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan hanya ada satu visi yakni visi presiden, tidak ada visi wakil presiden, dan tidak ada visi menteri. Pada masa pemerintahan periode pertama dengan Kabinet Kerja-Kerja-Kerja, dalam merealisasikan program “TOL Darat” dan “TOL Laut” mulai terasa kendala-kendala, dalam hal pembebasan dan pengadaan lahan, proses perijinan yang berbelit-belit, tumpang-tindih antara kewenangan pusat dan daerah, proses tender yang menghabiskan waktu, yang pada kesimpulannya dikatakan:”Kita memiliki undang-undang yang banyak sekali, saling tumpang-tindih, yang membuat pemerintah sangat lamban dan sulit dalam mengeksekusi program-program percepatan pembangunan, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi antara berbagai undang-undang tersebut agar pemerintah lebih lincah dalam melakukan eksekusi di lapangan”.
Politik hukum Jokowi makin jelas dan tegas pada periode kedua kepemimpinannya sekarang ini. Salah satu programnya adalah “mendatangkan investasi luar negeri ke Indonesia”. Usaha merealisasikan investasi ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam pelbagai lawatan keluar negeri, terutama menghasilkan banyak sekali MoU dengan negara-negara lain dalam bentuk bilateral dan atau antara para investor asing secara grup dan atau perorangan. Namun demikian apalah arti sekeranjang MoU jika tidak bisa dieksekusi. Tantanganya lagi-lagi pada masalah undang-undang yang pembentukannya tidak berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik anta lain : tidak ada kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yang pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan. Dengan latar belakang hanya ada satu visi yakni visi presiden untuk “Indonesia Maju” 2019-2024, maka politik hukum presiden adalah tercermin dalam pertimbangan hukumnya :
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja.
Bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang dimaksud adalah membreakdown dengan merevisi dan menghapus pasal-pasal yang menghambat kehadiran investasi, yang mengatur pelbagai persyaratan investasi, kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, masalah perijinan yang diatur dalam undang-undang semua ditarik menjadi satu pintu masuk yaitu kewenangan hanya ada pada pemerintah pusat. Semula menjadi kewenangan Menteri dihapus menjadi kewenangan pemerintah untuk menghindari perbedaan visi menteri dengan visi presiden. Kewenangan pemerintah daerah baik propinsi dan kabupaten/kota ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, terkait masalah perijinan. Apakah dengan demikian dikatakan otoriter ? Tidak, karena hal-hal tersebut di atas sudah merupakan bagian atau jenis muatan materi pelaksanaan sehingga tidak perlu diatur dalam undang-undang, melainkan akan diatur dalam peraturan pelaksanaan, sebagaimana tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan yakni untuk melaksanakan undang-undang akan diatur dalam peraturan pemerintah, dan untuk menjalankan peraturan pemerintah akan diatur dengan peraturan presiden.
Dengan pemikiran politik hukum ini pasti akan memudahkan pemerintah dalam mengeksekusi program mendatangkan investor dari luar negeri, dengan tujuan untuk yang bermanfaat bagi rakyat, sebagai salah satu tujuan hukum selain keadilan dan kepastian hukum. Hal ini tertulis dan terbaca dengan jelas dalam Pasal 54 yang terkait dengan Jasa Konstruksi, yang merevisi dan menghapus pasal-pasal terkait.
Kekhawatiran kalangan “penyedia jasa konstruksi” dengan dihapusnya ketentuan Pasal 44, yang jika dibaca secara teliti, pasal 44 itu tidak dihapus melainkan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 44 : Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik.
Jadi, dari ketentuan perubahan Pasal 44 Ayat (2) di atas, yang oleh beberapa pihak dimaknai dengan adanya penghapusan tender, seleksi, atau katalog elektronik, adalah pemahaman yang keliru. Tender, seleksi, atau katalog elektronik tidak dilarang, melainkan esensinya ada pada pengguna jasa dilarang menggunakan penyedia jasa yang terafiliasi untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik. Artinya tender, seleksi atau katalog elektronik itu wajib hukumnya.
Terkait penghapusan Pasal 57, esensinya pada penghapusan Jaminan, secara jenis dan muatan materi ini seharusnya masuk dalam aturan tentang pelaksanaan bukan dalam muatan materi undang-undang, agar pemerintah dapat dengan mudah mengaturnya, dan harus diantisipasi oleh para penyedia jasa terutama asosiasi-asosianya, untuk mengkaji dan mengusulkan jenis jaminan apa saja yang efektif untuk diakomodir dalam peraturan pemerintah dan atau peraturan presiden.
Tentang partisipasi masyarakat dalam Pasal 84 UU No. 2 Tahun 2017, bahwa dilakukan melalui suatu lembaga yang dibentuk oleh Menteri, tidak dihapus melainkan diubah menjadi : Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Pengaturannya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah dan atau peraturan presiden.
Oleh karena itu jika mempelajari visi Presiden Jokowi, maka untuk meniadakan hambatan-hambatan masuknya investasi luar negeri, maka politik hukum pemerintah adalah demokratis, tidak menghambat atau meniadakan asas keterbukaan publik, sebagaimana asumsi beberapa pihak, melainkan justru menjalankan asas keterbukaan terhadap publik, di mana sesuai asas demokrasi di mana rakyat diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Maka, Omnibus Law Cipta Kerja ini diajukan kepada DPR RI untuk mengkaji, menelaah dan memberikan persetujuan adalah demokratis, bukan otoriter.
Omnibus Law Cipta Kerja merupakan visi presiden sebagai politik hukum untuk menuju perubahan, kita tidak dalam posisi menentang “perubahan” tetapi jika kita ingin sebagai “pemenang perubahan” maka kita harus menyesuaikan diri dengan “perubahan”, yang dilakukan Presiden Jokowi.
Oleh :
Marthen H. Toelle, BcHk SH MH.
Pengamat